Monday, July 6, 2015

Tazkirah & Soal Jawab Agama Siri 30 ( Hadis Hafal Al-Quran, Huraian Puasa, Fidyah Gandaan, Malam Lailatul Qadar Dan Berbohong Yang Di Benarkan)

Soalan no. 146 : Assalamualikum ustaz..saya nk tanya tentang kedudukan hadis ini berkenaan musibah penghafal Alquran melupakan hafazannya..

-Nurakmal Liyana Yahya.

Jawapan : 

Waalakaumussalam Nurakmal Liyana Yahaya Adapun mengenai hadis-hadis yg mengancam mereka yg menghafal kemudian lupa, semuanya dhaif. Termasuklah hadis yg dikemukakan oleh saudara yang mana ia diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi. Hadis tersebut dipertikaikan sendiri kesahihannya oleh Imam Tirmidizi seperit yang dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Azkar. Oleh itu, tidaklah berdosa mereka yg melupakan ayat atau surah al-Quran samada kerana sengaja ataupun tidak.

Secara hukum dia tidak berdosa jika sudah hafal al-Quran kemudian dia terlupa, akan tetapi disyariatkan bagi seorang Muslim untuk selalu menjaga dan memelihara hafalan Al-Qurannya agar tidak hilang dari ingatannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam,

تَعَاهَدُوا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَلَّذِي نَفْسِ بِيَدِهِ إِنَّهُ َلأَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الإِبِلِ فِي عُقُلِهَ

“Jagalah Al-Quran ini, demi zat yang jiwaku berada dalam tangan-Nya. Sesungguhnya dia lebih mudah terlepas daripada unta yang dilihat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Akan tetapi, yang paling penting adalah mempelajari dan memahami ayat-ayat Al-Quran kemudian mengamalkannya. Kerana barangsiapa yang mengamalkan Al-Quran, maka Al-Quran tersebut akan menjadi hujjah baginya (akan membelanya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Dan barangsiapa yang tidak mengamalkan Al-Quran, maka Al-Quran tersebut akan menjadi musuh dia. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,

وَ الٌُقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ

“Dan Al-Quran itu boleh menjadi hujjah bagimu (membelamu) dan boleh menjadi hujjah atas kamu (mengancammu).” (HR. Muslim dan hadits Al-Harits Al-Asy’ari yang panjang).

Sumber: Fatawa Syaikh Bin Baaz Jilid 2, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz,

Soalan no. 147 : Assalamualaikum. Boleh Ustaz terangkan ayat Al-Quran yang berkaitan dengan puasa serta tafsirannya sekali.

- Mariam Ismail. 

Jawapan : 

Waalakauamusslaam Mariam Ismail : Kelebihan Puasa Di Bulan Ramadan Melahirkan Takwa.

Tafsir Surat Al Baqarah 183: “Berpuasa Hasilnya Adalah Takwa”

Bulan Ramadan adalah bulan Al Quran. Semestinya di bulan Al Quran ini umat Islam hendaklah lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Quran hendaknya mendapat menfaat yang besar dari aktiviti umat Islam di bulan yang mulia ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peranan Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadan adalah bulan bulan diturunkannya Al Quran. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (Surah Al Baqarah ayat 185)

Usaha yang mulia ini boleh dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (Surah Al Baqarah ayat 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita perhatikan hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman”

Dari lafaz ini diketahui bahawa ayat ini turun di Madinah (atau ayat Madaniyyah), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah [Lihat Al Itqan Fi Ulumil Qur’an karya Imam As Suyuthi, 55]

Imam Ath Thabari menyatakan bahawa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/409]

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497]

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa ertinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:

وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (Surah Yusuf ayat 17)

Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadis:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره

“Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha' dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[HR. Muslim no.102, 108]

Demikianlah enam Rukun Iman yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. 

Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau perintahkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati.

Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر

“Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, 4/149]

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan solat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak bertudung tutup aurat, yang penting hati saya berbersih dan ikhlas”. Jika imannya benar, tentu hati menjadi bersih dan ikhlas akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai tudung dan baju yang menutup aurat dengan sempurna. Oleh kerana itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan hasil daripada iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, 2/272]

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Surah Al Baqarah ayat 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang bukan musafir dan sihat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadan) itu, wajib baginya puasa‘ (Surah Al Baqarah ayat 185)”[Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/500]

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai keadaan aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Kerana awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[Shifatu Shaumin Nabi Fii Ramadhan, 1/21]

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahawa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”

Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Kerana suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[Ruuhul Ma’ani Fii Tafsiir Al Qu’ran Al Azhim, 2/121]

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahawa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan” [Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497]

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Agar kalian bertaqwa”

Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita ertikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat takwa. Dengan makna tarajji, dapat kita ertikan bahawa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertakwa.

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/413]

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertakwa kerana sebab puasa. Kerana puasa adalah wasilah menuju takwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima” [Ma’alim At Tanziil, 1/196]

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat” [Tafsir Al Jalalain, 1/189]

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah takwa itu?

Secara bahasa arab, takwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang ertinya berhati-hati, waspada, takut. Bertakwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi takwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ

“Takwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[Siyar A’lamin Nubala, 8/175]

Demikianlah sifat orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan kerana ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau adat istiadat. Demikian juga orang bertakwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, kerana ia teringat dalil yang mengancam dengan azab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahawa ketakwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisi-Nya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (Surah Al Hujurat ayat 13)

Soalan no. 148 : Assalamualaikum Ustaz. Terdapat 2 bayaran fidyah: Fidyah Tanpa Gandaan dan Fidyah Dengan Gandaan.

Soalan saya, bagaimana saya hendak memilih dan mengira bayaran fidyah bagi orang tua saya yang telah pergi tanpa saya mengetahui dia telah menggantikan puasanya atau tidak.

Sedangkan kiraan bagi bayaran fidyah bagi gandaan dan tanpa gandaan nyata berbeza begitu juga sebab-sebab perlunya menggira mengikut salah satu kaedah.

Jika, saya memilih untuk mengira dari usianya 15 tahun (baligh umur) akan terdapat dua kiraan fidyah. 

Pertama, semasa dia wajib ganti puasa (sekiranya dia sengaja meninggalkan puasa- fidyah dgn gandaan). 

Kedua, semasa dia tidak wajib ganti puasa (tua yg uzur - fidyah tanpa gandaan).

Bagaimana kedua kiraan ini hendak saya cantumkan untuk mendapat kiraan yang wajar/betul.

- Raja Faziliaton Raja Abdullah.

Jawapan :

Waalakauamussalam Raja Faziliaton Raja Abdullah dalam mazahb Syafie jika seseorang meninggalkan puasa dan melepasi setahun saja maka seseorang di kenakan fidyah, jika melewati tahun-tahun berikutnya akan di gandakan fidyahnya puasa tetap sama tak berganda, mengikut jumlah tahun yang di tinggalkan. Tetapi di dalam mazhab Maliki, Hanbali dan Hanafi , jika meninggalkan puasa wajib qada' puasa tersebut dan jika melepasi setahun atau beberapa tahun berikutnya fidyah hanya sekali sahaja tak di gandakan. Untuk mengatasi masalaah ini dan tidak membebankan umat Islam yang telah meninggalkan puasa sejak muda lagi maka Jawatankuasa Perunding Hukum Syara' (Fatwa) Negeri Selangor telah memberikan pandangan mereka dalam perkara gandaan fidyah.

Huraian mengenai fidyah : Puasa yg ditinggalkan wajib qada jumlah yg ditinggalkan. Di samping puasa qada saudari juga dikenakan fidyah 1 cupak makanan asasi setiap hari yang ditinggalkan. Mengikut mazhab Syafie fidyah di gandakan setiap tahun yg ditinggalkan tetapi mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak payah digandakan hanya bayar sekali sahaja. 

Jawatankuasa Fatwa Negeri Selangor telah dikemukakan dengan persoalan tentang hukum gandaan fidyah dan kifarah. Pihak Jawatankuasa diminta untuk memberi pendapat dan keputusan tentang perkara tersebut.
Keputusan: 

1. Mesyuarat Jawatankuasa Perunding Hukum Syara' (Fatwa) Negeri Selangor yang bersidang pada 16 Januari 2001 telah sebulat suara membuat keputusan bahawa pembayaran-pembayaran fidyah dan kifarah yang tertangguh adalah tidak digandakan (harus). Ini menurut sebahagian pandangan mazhab Syafie.

2. Walaubagaimanapun, sekiranya pihak pembayar ingin membuat pembayaran fidyah dan kifarah secara berganda maka ianya boleh diterima.

3. Oleh itu, pembayaran fidyah dan kifarah ini diberi dua pilihan:

a. Digandakan pembayaran fidyah dan kifarah mengikut tahun yang ditinggalkan.

b. Tidak digandakan pembayaran.

4. Pandangan ini diambil kira ia berbetulan dengan ajaran Islam yang tidak sama sekali menyusahkan manusia yang menganut ajarannya

Keterangan/Hujah: 

LATAR BELAKANG

1. Fidyah ialah satu istilah yang terdapat di dalam fiqh al-Islami. Ia lebih difahami sebagai "satu cara untuk menggantikan puasa Ramadhan yang tertinggal disebabkan keuzuran yang diterima oleh syarak atau tidak".

2. Jumlah fidyah yang dibayar adalah berdasarkan kepada bilangan puasa yang ditinggalkan. Sekiranya bilangan puasa yang ditinggalkan itu banyak, maka banyaklah fidyah yang perlu dibayar. Begitu juga sebaliknya.

3. Sekiranya jumlah yang perlu dibayar adalah sedikit, ia tidak menjadi masalah. Tetapi sekiranya jumlah tersebut terlalu tinggi, masalah akan timbul apabila berlaku penggandaan dalam pengiraan fidyah apabila pembayaran ditangguhkan untuk beberapa Ramadhan.

PENDAPAT ULAMA"

1. Terdapat dua pandangan terhadap masalah penggandaan kiraan fidyah tertangguh:

1) Tidak digandakan: ia adalah pandangan mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.

Pandangan ini dikukuhkan dengan hujah bahawa penagguhan terhadap sesuatu ibadah tidak akan menambahkan bilangan ibadah tersebut sebagaimana yang berlaku kepada ibadah haji yang tertangguh.

2) Digandakan: Pandangan ini dikukuhkan dengan hujah bahawa setiap penagguhan tersebut membentuk fidyah yang lain. Fidyah yang bertambah tersebut tidak boleh disatukan menjadi satu.

Jika saudari telah tinggalkan puasa (belum di qada) bertahun-tahun lama masanya, sebagai contoh : 50 hari puasa qada belum di tunaikan. Maka saudari wajib qada 50 hari puasa dan fidyah yang saudari dikenakan (jika mengikut pendapat Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali) adalah sebanayk 50 cupak beras makanan asasi bersamaana (0.675 kg x 50 = 33.75 kilogram) . Jadikan genap 40 kg beras di sedekahkan kepada 4 keluarga miskin (setiap 1 keluarga mendapat 10 kg beras)

Cara kiraannya : Jika ibu puan semasa hidupnya sejak baligh sehingga dewasa dia ada meninggalkan puasa sebanyak 100 hari dan fidyah yang di kenakan sebanyak 0.675 x 100 = 67.5 kg beras untuk fakir miskin. (kerana lewat mengqada'nya). Tiba-tiba ibu puan meninggal dunia tak sempat qada' dan bayar fidyah. Maka cara pembayarannya adalah 100 puasa yang belum di sempurnakan di gantikan dengan fidyah sebanyak 100 x 0.675 kg beras. dan di campurkan dengan fidyah yang di kenakan maka jumlahnya adalah 67.5 + 67.5 = 135 kg beras untuk di sedekahkan kepada fakir miskin.

Jika ibu puan sakit tua dan uzur maka dia hanya di kenakan fidyah sahaja jika selama 3 tahun dia tak berpuasa maka fidyahnya 90 x 0.675 kg beras =60.75 kg beras fidyah untuk di sedekahkan kepada fakir miskin.

Soalan no. 149 : Asalamualaikum ustaz apakah terbaik kepada hamba Allah? Apabila kedatangan malam lailatulqadar dan waktu bilakah mustajab doa bagi orang Islam,,

- Muhammad Nabawi.

Jawapan :

Waalakauamaussalam Muhammad Nabawi Dalam hal ini, memadailah Rasulullah (SAW) sebagai model yang menampilkan teladan terpuji untuk diikuti oleh umat Islam seluruhnya dalam menghidupkan malam-malam terakhir Ramadan. Ini dilakukan dengan melaksanakan iktikaf dan membangunkan keluarganya agar lebih meningkatkan amalan ibadat pada malam hari. 

Rasulullah (SAW) juga tidak mendekati isteri-isterinya dengan tujuan memperbanyakkan amal ibadat dalam masjid seperti solat Tahajud, solat Witir, solat Tarawih, berzikir kepada Allah serta membaca dan tadarus al-Quran. Baginda juga sentiasa memanjatkan doa ke hadrat Ilahi. Antara doa yang sering baginda baca ialah doa bermaksud: “Wahai Tuhan kami! Anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan juga kebajikan di akhirat serta peliharakanlah kami daripada seksaan api neraka yang pedih.”

Doa yang dilafazkan itu bukan sekadar satu permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat saja, malah untuk memantapkan lagi langkah dan kesungguhan agar dapat meraih kebajikan yang dijanjikan Allah. Ini kerana doa itu sendiri membawa maksud satu permohonan yang penuh tulus dan pengharapan, di samping disusuli dengan usaha melipatgandakan amal ibadat yang mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, setiap Muslim dianjurkan agar bertaubat dan memohon ampun kepada Allah daripada sebarang kesalahan dan dosa. Tambahan pula, setiap manusia pada dasarnya tidak akan terlepas daripada kealpaan dan seterusnya melakukan kesalahan yang dilarang Allah.

Amalan Pada Malam Lailatul Qadar

Amalan-amalan yang diamalkan pada malamnya : Mulai jam 12.00 tengah malam :-
1. Sembahyang sunat wuduk.
2. Sembahyang sunat hajat berdoa minta dipertemukan Allah dengan malam Lailatul Qadar.
3. Membaca al-Quran.
4. Istighfar
5. Zikrullah
6. Bertasbih
7. Selawat
8. Sembahyang sunat tahajjud.

Orang yang bertemu dengan Lailatul Qadar akan terus dingin badannya kerana dihampiri oleh para malaikat (sebentar sahaja). Hendaklah segera kita membaca...

”Terdapat dalam hadis dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, ”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah Lailatul Qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Baginda menjawab, ”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahawa hadis ini sahih).

Soalan no. 150 : Assalamualikum ustaz,saya nak tanya,sekiranya kita melakukan kebaikan pada orang lain,tapi apabila di tanya, kita menafikan kebaikan yang kita lakukan kerana tidak mahu riak.apakah pandangan ustaz? Apakah hukumnya?

- Mahadir C-dik

Jawapan :

Walakauamussalam Mahadir C-dik jika kita membuat kebaikan pada seseorang jika di tanya kita perlu jawab dengan jujur kerana orang mukmin tak berbohong hanya perkara dharurat sahaja. Jika perkara kebaikan boleh kita ceritakan sekurang-kurangnya dapat menjadi pengajaran kepada orang lain supaya mengikut amalan yg kita buat, bukan kerana riyak tetapi niat kita cuba bercakap benar kedua untuk di ambil pengajaran.

Rasulullah SAW bersabda maksudnya, "Berbohong tidak dibenarkan (halalkan) melainkan 3 keadaan : Lelaki yang bercakap kepada isterinya bertujuan mengembirakannya, berbohong semasa perang dan berbohong bagi menyatukan antara dua manusia" (Hadis Riwayat al-Tirmudzi no. 1862, kata beliau in Hadis Hasan, Sahih Muslim no.4717.)

1. Bohong yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mendamaikan dua orang saudaranya yang sedang bermusuhan. Kita boleh berbohong pada masing-masing dari mereka dengan menceritakan kebaikan-kebaikan mereka pada masing-masing teman yang musuhan tadi. Hingga akhirnya, mereka berdua pun berdamai. Dan misi pun selesai.

2. Bohong yang dilakukan suami untuk menyenangkan isterinya atau bohong yang dilakukan isteri untuk menyenangkan suaminya.Contohnya seorang suami yang membelikan hadiah sebuah baju untuk isteri tercintanya. Meskipun baju pemberiannya tidak berkenan di hati, namun isteri yang bijak akan menerima dengan senang hati. Dalam hal ini, isteri boleh berbohong bahawa pemberian suaminya adalah pemberian terbaik yang pernah ia dapatkan. Tujuannya tidak lain adalah agar suami merasa senang hati kerana pemberiannya diterima dengan baik.

3. Bohong semasa peperangan sebagai stratigi peperangan. Termasuk juga berbohong di benarkan untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang terancam. Contohya, misalkan ada seseorang (sebut saja namanya fulan) hendak dibunuh oleh orang lain. Padahal kita tahu, orang tersebut tidak bersalah apa-apa. Si fulan meminta perlindungan kepada kita agar dirinya diselamatkan. Dan kita pun akhirnya mahu menyembunyikannya. Setelah itu, datanglah orang yang bermaksud membunuh si fulan kepada kita. Tujuannya bertanya kepada kita untuk mencari di mana si fulan tersebut. Maka pada saat ini, kita boleh berbohong demi kebaikan agar nyawa si fulan terselamatkan.